Selasa, 24 Desember 2013

AQIDAH, IBADAH, AKHLAQ DAN MU’AMAAH


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



AQIDAH, IBADAH, AKHLAQ DAN MU’AMAAH




OLEH :

1. ANNISA FADHILLA

2. NALDI CANDRA

3. WELA MUTIA



DOSEN :

1. Dr. H. SYARIFUDDIN, M.Ag

2. ALDOMI PUTRA, S.Th.I, M.A



POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

PRODI D-IV KESEHATAN LINGKUNGAN

2013

BAB I

PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang Masalah

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.

Menurut Fazlur Rahman secara eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan social, dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketaqwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.

Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar nilai manfaatnya, semakin penting ilmu tersebut untuk dipelajari. Ilmu yang paling utama adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT adalah orang yang bodoh, karena tidak ada orang yang lebih bodoh dari pada orang yang tidak mengenal penciptanya.

Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap- lengkapnya bentuk dibanding dengan makhluk/ciptaan yang lain. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya (menurut hadis yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 orang, namun jumlah yang sebenarnya hanya Allah saja yang mengetahuinya), semuanya menyerukan kepada tauhid (diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam At Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad dalam Al Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Maurid 2085 dan Ath-Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir 8/139) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul. Orang yang menerima disebut mukmin, orang yang menolaknya disebut kafir serta orang yang ragu-ragu disebut munafik yang merupakan bagian dari kekafiran.

Begitu pentingnya aqidah ini, sehingga Nabi Muhammad Saw, penutup para Nabi dan Rasul membimbing umatnya selama 13 tahun ketika berada di Makkah dengan menekankan masalah aqidah ini, karena aqidah adalah landasan semua tindakan, bahkan merupakan landasan bangunan Islam. Oleh karena itu, maka para dai dan para pelurus agama dalam setiap masa selalu memulai dakwah mereka dengan tauhid dan pelurusan aqidah



1.2  Rumusan Masalah

11.  Apakah pengertian dari aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah?

22. Apa saja ruang lingkup aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah?

33. Bagaimana hubungan antara aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah?

44. Bagaimana implikasi aqidah, ibadah, muamalah serta akhlak dalam kehidupan sehari-hari?



1.3  Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah.
2    2. Untuk mengetahui ruang lingkup aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah.

3    3.  Untuk mengetahui hubungan antara aqidah, ibadah, akhlaq dan mu’amalah.

4    4.   Untuk mengetahui implementasinya  dalam kehidupan sehari-hari selain itu juga untuk memenuhi tugas  kajian tematik islam.

BAB II

PEMBAHASAN



2.1 AQIDAH

a. Pengertian Aqidah

            Kata Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti perhimpunan kata atau ikatan antara ujung atau pangkal sesuatu. Kata ‘aqd ini juga digunakan untuk benda-benda yang keras, seperti ikatan tali atau ikatan dalam suatu bangunan. Kemudian kata ini dipinjam untuk beberapa makna, seperti akad jual beli, akad nikah, dan perjanjian.

            Sedangkan ‘aqaid atau “ilmu’aqaid” adaah nama lain yang timbul belakangan bagi ilmu kalam dan ilmu tauhid. Istilah “ilmu ‘aqaid” adalah ilmu yang al-‘Aqaidun-Nasafiyah. Sedangkan “ilmukalam” adalah ilmu yang membahas tentang keyakinan keagamaan dan dalil-dalil yang pasti (qath’i). Disamping itu ada istilah theology yang menunjuk pada pembahasan tentang keyakinan keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil yang bersandar pada logika. Theo sama dengan Tuhan, logos sama dengan pemikiran, maka theology adalah pembahasan tentang keyakinan keagamaan dengan menggunakan dalil-dalil logika. Di dalam sejarah pemikiran islam, hal ini dikenal dengan istilah ilmu kalam (‘ilm al-Kalam).

            Dalam kajian sosioogi kata kaidah mempunyai beberapa pengertian yaitu aqidah berarti keyakinan (‘itiqad) yang menerima pendapat sebagai kebenaran dan menerimanya semata-mata sebagai hasil pemikiran (fikri) walaupun kadang-kadang mengandung unsur-unsur perasaan.

            Aqidah merupakan landasan pemikiran seseorang dalam melakukan perbuatan yang dipilihnya. Kebenara I’tiqad tidk disandarkan pada hakikat sesuatu, dan tidak tergantung pada pendapat atau pandangan tertentu.

            Aqidah menurut Islam adalah suatu yang terhimpun adanya kalbu seorang muslim, berupa iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasu-rasul-Nya, hari akhir dan qadha dan qadar yang baik dan yang buruk. Kesemuanya disertai rasa tunduk dan patuh kepada manhaj ,Allah SWT dengan melakukan ibadah kepada-Nya, dengan menggunakan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah puasa, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, beramal ma’ruf nahi mungkar, serta berhijad demi menjunjung tinggi kalimat Allah.

b. Ruang Lingkup Aqidah Islam

a)      Al-llahiyyat

Masalah al-llahiyyat ialah masalah yang berkaitan dengan ketuhanan yang mencakup pembahasan tentang zat Allah SWT, nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya.

*      Zat Allah SWT

Hakikat tentang zat Allah SWT tidak dapat dijangkau oleh akal manusia yang serba terbatasoleh karenanya harus dibawa ke wilayah hati (kalbu) sebagai sumber rasa (dzauq). Karena hatilah yang dapat menampung rasa percaya sebagai awal tumbuhnya keimanan dalam diri seseorang. Manusia dilarang memperbincangkan zat Allah SWT guna menghindarkan kebinasaan. Nabi Muhammmad SAW bersabda :

“Pikirlah ciptaan Allah, dan jangan kamu memikirkan Dzat Allah.”

*      Nama-nama Allah

Allah telah memperkenalkan diri-Nya kepada makhluk-Nya melalui nama-nama serta sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan dan kelurahan-Nya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

            “Allah memiliki Sembilan puluh Sembilan nama, yakni seratus kurang satu. Tiada seorang yang menghafalnya (dengan menghayati dan merenungkan kandungannya) melainkan akan masuk surga. Dan Dia itu gasal (ganjil), dan mencintai yang gasal.”

*      Sifat-sifat Allah SWT

Dengan memperhatikan alam semesta dan seluruh makhluk yang ada, maka seorang muslim akan mendapat petunjuk bahwa alam semesta ini memiliki pencipta yang mewujudkannya, yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaannya dan mahasuci dari sifat kekurangannya.

b. An-Nabuwwat (kenabian)

            Banyak sekali pembahasn mengenai an-nabuwwat ini, tetapi yang terpenting adalah diutusnya para rasul, iman kepada mereka, tugas-tugas mereka, wahyu, mukjizat, dan keumuman risal Nabi Muhammad SAW.

c. Ar-Ruhaniyyat

            Yang dimaksud dengan ar-ruhaniyat di sini dalah kepercayaan/keyakinan kepada makhluk gaib yaitu makhuk-makhluk yang hanya terdiri atas ruh yang tidak mempunyai tubuh. Aapun makhluk-makhluk gaib itu dalam Al-qur’an terdiri atas malaikat, jin, iblis dan syet.kita wajib mengimani makhluk-makhluk tersebut sebagai bagian keimanan kepada yang gaib. Mengimani makhluk tersebut berarti meyakini kebenarannya serta pengaruhnya kepada kehidupan manusia seperti yang di beritakan di dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis shahih.

d. As-Sam’iyyat

Kata as-sam’iyyat berasal dari sam’u yang berarti pendengaran. Jadi as-sam’iyyat disini adalah hal-hal yang berhubungan dengan alam akhirat dan alam barzah seperti surga, neraka, timbangan dan azab kubur. Ini semua tidak dapat dibuktikan secara empiri karena tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia, tetapi ajib dimani sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur’an dan hadis.[1]



2.2 AKHLAQ

Pengertian dan Ruang Lingkup Akhlak serta Perbedaannya dengan Moral dan Etika

            Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, artinya tingkah laku, perangai, tabiat. Sedangkan menurut istilah, akhlak dalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnungkan lagi. Dengan demikianakhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri sesorang secara spontan diwujudkan dalam yingkah laku atau perbuata. Apabila perbuatan sponan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan  itu disebut akhlak yang baik atau akhlaqul karimah. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlaqul mazmumah. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

            Disamping akhlak dikenal pula istilah moral dan etika. Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat mejadi standar dalam menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan.

            Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat local atau khusus dan etika bersifat umum.

            Perbedaan atara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesempatan yang dibuat oleh suatu masyarakat. Jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik, maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat local dan temporal, sedankan standar akhlak bersifat universal dan abadi.

            Dalam pandangan islam , akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang sebab keimanan harus ditampilkan dalam perilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :

            “aku hanya diutusuntuk menyempurnakan akhlak manusia” (Hadis riwayat Ahmad)[2]

2.3 IBADAH

a. Pengertian Ibadah

Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1.      Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2.      Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3.      Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58].

Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.

Allah  memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah , maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).[3]

b. Ruang Lingkup Ibadah

            Islam amat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan menurut cara-cara yang disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak membataskan ruang lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Ruang lingkup ibadah di dalam Islam amat luas sekali. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam asalkan  memenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:

1.      Amalan yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian dengan hukum-hukum syara’. Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang haram dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.

2.      Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada umat dan memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah.

3.      Amalan tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari kamu membuat sesuatu kerja dengan memperindah kerjanya.”

4.      Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syara’ dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.

5.      Tidak melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya dalam melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang Muslim dan kesanggupan serta kekuatannya untuk melakukan apa saja amal yang diridhai oleh Allah dalam jangka waktu tersebut.[4]



2.4 MU’AMALAH

a. Pengertian Mu’amalah

Dari segi bahasa, muamalah berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya. Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamlah;

Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.

Sedangkan dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar maupun dalam hal utang piutang.

Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah Ayat 280 yang artinya : ”Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya. Dan Allah SWT juga memerintahkan manusia untuk berinterksi dan bermuamalah dengan cara bertebaran di muka bumi untuk mencari rezki Allah. Sebagaiman Allah SWT berfirman dalam surat Al Jumah ayat : 10 yang artinya “Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

b. Ruang Lingkup Mu’amalah

Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti social,ekonomi,politik hokum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas.
Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly yang berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil Aqly yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits,dan ijtihad.

Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal;

1.      Muamalah Adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai HARTA dan IJAB QOBUL.

2.      Muamalah Madiyah : ditinjau dari segi objeknya. Meliputi: Al Ba'i (jual beli), Syirkah (perkongsian), al Mudharabah (Kerjasama), Rahn (gadai), kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan), utang piutang, Sewa menyewa, hiwalah (pemindahan utang), sewa menyewa (ijarah), upah, syuf'ah (gugatan), Qiradh (memberi modal), Ji'alah (sayembara), Ariyah (pinjam meminjam), Wadi'ah (titipan), Musaraqah, Muzara'ah dan mukhabarah, Pinjam meminjam, Riba, Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll), ihyaulmawat, wakalah.[5]

2.5 HUBUNGAN AKIDAH, AKHLAK, IBADAH DAN MU’AMALAH

a. Hubungan aqidah dengan akhlak

Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup yang dimiliki oleh manusia. Keyakinan hidup inidiperlukan manusia sebagai pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh bangunan aktifitas manusia.

Aqidah sebagai dasar pendidikan akhlak. Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar terhadap alam dan kehidupan, Karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran dirinya. Oleh karena itu jika seorang beraqidah dengan benar, niscahya akhlaknya pun akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah salah maka akhlaknya pun akan salah.

Ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menjelaskan yang seharusnya dilakukan manusia kepada yang lainya, yang disebut dengan akhlak. Dengan akhlak yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah dan bisa menjalankan ibadah dengan baik dan benar. Ibadah yang dijalankan dinilai baik apabila telah sesuai dengan muamalah. Muamalah bisa dijalankan dengan baik apabila seseorang telah memiliki akhlak yang baik.

Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika kepercayaan dan keyakinanya terhadap alam juga lurus dan benar. Karena barang siapa mengetahui sang pencipta dengan benar, niscahya ia akan dengan mudah berperilaku baik sebagaimana perintah allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkanya. Pendidikan akhlak yang bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang harus diikuti oleh manusia. Mereka harus mempraktikanya dalam kehidupan mereka, karena hanya inilah yang menghantarkan mereka mendapatkan ridha allah dan atau membawa mereka mendapatkan balasan kebaikan dari allah

Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang berhubungan dengan aqidah. Jujur dapat terwujud apabila seseorang telah memegang konsep-konsep yang berhubungan dengan aqidah. Dengan dijalankanya konsep-konsep aqidah tersebut maka seseorang akan memiliki akhlak yang baik. Sehingga orang akan takut dalam melakukan perbuatan dosa.

b. Hubungan aqidah dengan ibadah

Akidah menempati posisi terpenting dalam ajaran agama Islam. Ibarat sebuah bangunan, maka perlu adanya pondasi yang kuat yang mampu menopang bangunan tersebut sehingga bangunan tersebut bisa berdiri dengan kokoh. Demikianlah urgensi akidah dalam Islam, Akidah seseorang merupakan pondasi utama yang menopang bangunan keislaman pada diri orang tersebut. Apabila pondasinya tidak kuat maka bangunan yang berdiri diatasnya pun akan mudah dirobohkan.

Selanjutnya Ibadah yang merupakan bentuk realisasi keimanan seseorang, tidak akan dinilai benar apabila dilakukan atas dasar akidah yang salah. Hal ini tidak lain karena tingkat keimanan seseorang adalah sangat bergantung pada kuat tidaknya serta benar salahnya akidah yang diyakini orang tersebut. Sehingga dalam diri seorang muslim antara akidah, keimanan serta amal ibadah mempunyai keterkaitan yang sangat kuat antara ketiganya.

Ibadah mempunyai hubungan yang erat dengan aqidah. Antaranya :

  1. Ibadah adalah hasil daripada aqidah  yaitu keimanan terhadap Allah sebenarnya yang telah membawa manusia untuk beribadat kepada Allah swt.
  2. Aqidah adalah asas penerimaan ibadah yaitu tanpa aqidah perbuatan seseorang manusia bagaimana baik pun tidak akan diterima oleh Allah swt.
  3. Aqidah merupakan tenaga penggerak yang mendorong manusia melakukan ibadat serta menghadapi segala cabaran dan rintangan.

Akidah adalah merupakan pondasi utama kehidupan keislaman seseorang. Apabila pondasi utamanya kuat, maka bangunan keimanan yang terealisasikan dalam bentuk amal ibadah orang tersebut pun akan kuat pula.

Amal ibadah tidak akan bisa benar tanpa dilandasi akidah yang benar. amal ibadah dinilai benar apabila dilakukan hanya untuk Allah semata dengan ittiba’ Rasul SAW.

Manusia diberi bekali akal pikiran agar dengan akal pikiran tersebut mereka dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah, menganalisa hakikat kehidupannya sehingga dia tahu arah dan tujuan dirinya diciptakan di dunia. Akal pikiran dan perasaan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lain. Oelh karena itu manusia dipercaya untuk menjadi khalifah Allah di Bumi.

c. Hubungan aqidah dengan muamalah

Pola pikir, tindakan dan gagasan umat Islam hendaknya selalu bersendikan pada aqidah Islamiyah. Ungkapan “buah dari aqidah yang benar (Iman) tidak lain adalah amal sholeh” harus menjadi spirit dan etos ummat Islam. Pribadi yang mengaku muslim mestinya selalu menebar amal shalih sebagai implementasi keimanannya di manapun mereka berada. Tidak kurang 60 ayat Al Qur’an menerangkan korelasi antara keimanan yang benar dengan amal sholeh ini. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa perintah beriman kepada Allah dan hari akhir selalu diikuti dengan perintah untuk melaksanakan amal shalih. Inilah makna operatif dari ungkapan “al-Islamu ‘aqidatun wa jihaadun”, bahwa kebenaran Islam itu harus diyakini sekaligus juga diperjuangkan pengamalannya secara sungguh-sungguh dalam konteks kemaslahatan dan bebas dari perilaku teror.

Aqidah adalah pondasi keber-Islaman yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain: akhlaq, ibadah dan Muamalat. Aqidah yang kuat akan mengantarkan ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan muamalat yang membawa maslahat. Selain sebagai pondasi, hubungan antara aqidah dengan pokok-pokok ajaran Islam yang lain bisa juga bersifat resiprokal dan simbiosis. Artinya, ketaatan menuanaikan ibadah, berakhlaq karimah, dan bermuamalah yang baik akan memelihara aqidah.

Dengan kata lain, ibadah adalah pelembagaan aqidah dalam konteks hubungan antara makhkluq dengan Khaliq; akhlaq merupakan buah dari aqidah dalam kehidupan yang etis dan egaliter; dan muamalah sebagai implementasi aqidah dalam masyarakat yang bermartabahat dan menebar maslahat. Karena itu, agar aqidah tumbuh dan berkembang, aqidah harus operatif dan fungsional. Di Indonesia kita menyaksikan beberapa ormas Islam yang telah berhasil mengembangkan amal usaha atau unit pelayanan umat seperti Panti sosial dan anak yatim, lembaga pendidikan dan pondok pesantren, balai pengobatan dan rumah sakit, lembaga pengumpul dan penyalur zakat serta lembaga-lembaga sosial keagamaan lainnya. Lembaga atau unit pelayanan umat tersebut, meminjam istilah M. Amin Abdullah, merupakan bentuk faith in action, buah keimanan yang aktif dan salah satu bentuk pengejawantahan ‘tauhid sosial’ atau ‘theologi pembangunan’. Sayanya, tidak sedikit buah faith in action tersebut yang terjebak pada bebagai kepentingan mulai dari ekonomi hingga politik.[6]

2.6 AKIDAH, AKHLAK, IBADAH, DAN MUAMALAH SERTA IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN

Dr. Kaelany HD., MA mengatakan dalam bukunya, Islam Agama Universal, bahwa ajaran Islam sangatlah luas. Ulama dengan berlandaskan hadist membagi ajaran Islam tersebut dalam tiga pokok bahasan, yaitu Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak. Dalam hal ini, akan dibahas pengertian Aqidah serta Syari’ah (sebagai Ibadah dan Muamalah), yang mana pengertian ini didapat dari berbagai sumber, yaitu Al-qur’an , Hadist, dan berbagai resensi dari buku atau artikel.

Aqidah merupakan suatu istilah untuk menyatakan “kepercayaan” atau Keimanan yang teguh serta kuat dari seorang mukmin yang telah mengikatkan diri kepada Sang Pencipta. Makna dari keimanan kepada Allah adalah sesuatu yang berintikan tauhid, yaitu berupa suatu kepercayaan, pernyataan, sikap mengesankan Allah, dan mengesampingkan penyembahan selain kepada Allah.

Ajaran mengenai aqidah ini merupakan tujuan utama Rasul diutus ke dunia, yang mana hal ini dinyatakan dalam AL-qur’an, yang berbunyi: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu (Muhammad) melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tiada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlan olehmu sekalian akan Aku” (QS. 21: 25)

Akidah adalah suatu ketetapan hati yang dimiliki seseorang, yang mana tidak ada factor apa pun yang dapat mempengaruhi atau merubah ketetapan hati seseorang tersebut. Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah.

Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW. Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atau haram). Ibadah ini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (hubungan kita dengan sesame manusia dan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya.

Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi Muhammad SAW mengatakan: “Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya. Tapi, dalam urusan dunia Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.”

Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada suruhan atau contoh tatacara, atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka tindakan yang kita lakukan dalam ibadah itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat). Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan penting untuk diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena apabila tidak ada, hal tersebut boleh saja dilakukan.

Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua prinsip yang perlu kita perhatikan, yaitu:

Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan tata caranya, karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan para Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu kepada masyarakat. Maka menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah. Sedang setiap bid’ah adalah sesat.

Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah.

Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk mengingat dua prinsip di atas. Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat.

Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus diperhatikan sesuai dengan perkembangan zaman. Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu sendiri. Selama tidak ada larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hal yang dipertimbangkan itu boleh dilakukan. Hal ini telah diterangkan oleh Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas. Sebagai contoh adalah dalam kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah, masyarakat yang mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang Unta sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah).[7]









BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpuan

          Berdasarkan pada hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1.      Aqidah secara etimologi;  Aqidah berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan.  Aqidah adalah apa yang diyakini oleh seseorang.Aqidah scara syara’ yaitu iman kepada Allah, para MalaikatNya, Kitab-kitabNya, Para RasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik mupun yang buruk. Hal ini disebut juga sebagai rukun iman.

2.      Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminology) Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

3.      Muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan lain sebagainya

4.      Pengertian Akhlak Secara Etimologi, Menurut pendekatan etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya “Khuluqun” yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.

5.      Aqidah adalah pondasi keber-Islaman yang tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain: akhlaq, ibadah dan Muamalat. Aqidah yang kuat akan mengantarkan ibadah yang benar, akhlaq yang terpuji dan muamalat yang membawa maslahat. Selain sebagai pondasi, hubungan antara aqidah dengan pokok-pokok ajaran Islam yang lain bisa juga bersifat resiprokal dan simbiosis. Artinya, ketaatan menuanaikan ibadah, berakhlaq karimah, dan bermuamalah yang baik akan memelihara aqidah.

6.      Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah telah dijalankan oleh manusia, maka kedua hal tersebut harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur itu semua. Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik apabila telah memiliki dampak sosial yang baik.

3.2 Saran

Berdasarkan pada pembahasan dan kesimpulan maka penulis memberikan saran yakni Al Quran dan sunah merupakan dua pegangan, tuntunan dan pedoman hidup serta sebagai sumber utama bagi umat islam  untuk dijadikan sebagai panduan analisis dalam mengkaji setiap persoalan yang muncul dalam kehidupan. Oleh karena itu penting kiranya bagi umat islam untuk terus berpegang  teguh pada Al quran dan As sunah serta untuk   memahami makna-makna yang terkandung dalam Al quran dan As sunah. Dan dengan Al quran dan As sunah juga dapat memperkuat Aqidah, Ibadah, Muamalah dan Akhlak umat manusia.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar