BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pluralisme
2.1.1
Pengertian Pluralisme
Pluralisme adalah suatu paham atau
pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “KEMAJEMUKAN” atau
“KEANEKARAGAMAN” dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan dimaksud misalnya
dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. Segi-segi inilah yang
biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas
dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan
kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih
besar atau lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri
dari pelbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam
budaya atau adat-istiadat. Begitu pula masyarakat Maluku yang majemuk, ataupun
masyarakat Aru yang majemuk.
Menerima kemajemukan berarti menerima
adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti
menyamaratakan, tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal
yang tidak sama. Menerima kemajemukan (misalnya dalam bidang agama) bukanlah
berarti bahwa membuat “penggabungan gado-gado”, dimana kekhasan masing-masing
terlebur atau hilang. Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam
satu “frame” atau “adonan”. Justeru di dalam pluralisme atau kemajemukan,
kekhasan yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan
tetap dipertahankan.
Jadi pluralism berbeda dengan
sinkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau akulturasi (penyingkiran). Juga
pluralisme tidak persis sama dengan inkulturasi, kendati di dalam pluralisme
atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi dimana keaslian tetap dipertahankan.
2.1.2
Dasar Pluralisme (Penerimaan Kemajemukan)
a.
Dasar filosofis : kemanusiaan
Penerimaan kemajemukan dalam paham
pluralisme adalah sesuatu yang MUTLAK, tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini
merupakan konsekwensi dari kemanusiaan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama,
mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta tujuan atau
cita-cita hidup terdalam yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan batin.
Namun dari lain sisi, manusia berbeda satu sama lain, baik secara individual
atau perorangan maupun komunal atau kelompok, dari segi eksistensi
atau perwujudan/pengungkapan diri, tata hidup dan tujuan
hidup.
Sedangkan secara faktual dan
historis, manusia yang sama secara essensial dan berbeda secara eksistensial
itu pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang hidup bersama, saling
membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara
perorangan/individual maupun secara kelompok/komunal. Oleh sebab itu
suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kemajemukan harus diterima karena dan
demi kemanusiaan. Pluralisme atau adanya dan penerimaan akan kemajemukan
merupakan konsekwensi dari kemanusiaan.
Adanya kemajemukan merupakan suatu
fakta sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang tidak dapat ditolak dalam
sejarah hidup manusia, baik secara lokal maupun nasional dan internasional.
b. Dasar Sosial Kemasyarakatan dan Budaya
Pengakuan akan adanya dan
penerimaan akan kemajemukan merupakan KONSEKWENSI DAN KONSISTENSI KOMITMEN
sosial maupun konstitusional sebagai suatu masyarakat (suku, bangsa, bahkan
dunia), yang berbudaya.
Karena kemajemukan merupakan
konsekwensi dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial, yang dari satu segi
memiliki kesamaan essensial tetapi dari lain segi ada perbedaan eksistensial,
maka pada hakekatnya adanya dan kekhasan atau identitas suatu kelompok
masyarakat (entah lokal, nasional, dan internasional) akan hilang bila tidak ada
atau ditiadakan atau ditolak kemajemukan. Jadi kemajemukan merupakan unsur
penentu bagi adanya dan kekhasan dari suatu masyarakat. Oleh sebab itu dalam
sejarah pembentukan dan kehidupan setiap kelompok masyarakat senantiasa ada
kesadaran dan pengakuan akan adanya kemajemukan, serta ada komitmen untuk
menerima dan tetap mempertahankan kemajemukan secara konsekwen dan konsisten.
Misalnya sejarah perjuangan
kehidupan masyarakat Indoensia, baik secara lokal maupun nasional, telah
dicirikhaskan dengan kesadaran akan adanya serta komitmen akan penerimaan
kemajemukan secara konsekwen dan konsisten. Sumpah Pemuda serta pelbagai macam
perjuangan untuk mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dari masa ke masa merupakan fakta sejarah nasional bangsa
Indonesia akan adanya serta komitmen untuk menerima dan mempertahankan
kemajemukan masyarakat Indonesia. Begitu pula Pancasila dan UUD 45 mencerminkan
kesadaran, komitmen, pandangan hidup serta sikap hidup yang sama. Pancasila dan
UUD 45 merupakan bukti konstitusional nasional tentang pluralisme di Indonesia.
c. Dasar Teologis
Dalam suatu masyarakat agamawi –
seperti masyarakat Indonesia –, kendati ada pelbagai macam agama yang berbeda
dalam pelbagai aspek atau unsur-unsurnya, namun kemajemukan seyogyanya harus
diterima, sebagai konsekwensi dari nilai-nilai luhur dan gambaran “Sang Ilahi”
(Allah) yang maha baik serta cita-cita atau tujuan mulia dari setiap agama dan
para penganutnya.
Dari hasil kajian, misalnya oleh
ilmu perbandingan perbandingan agama-agama, dapat kita ketahui bahwa:
1)
Dari satu segi ada kesamaan. Misalnya
dalam setiap agama ada gambaran dan ajaran tentang “Sang Ilahi” (“Allah” atau
sebutan lainnya) sebagai yang maha baik, maha sempurna, maha kuasa, asal dan
tujuan hidup akhir dari manusia dan segala sesuatu yang baik. Juga ada gambaran
tentang “surga”, kebahagiaan, ketenteraman, damai sejahtera, dll yang merupakan
cita-cita dan tujuan akhir hidup setiap orang.
2)
Dari segi lain ada rupa-rupa perbedaan
karena adanya perbedaan persepsi serta keterbatasan manusia dalam upaya
“mendalami” dan memahami serta menjalin hubungan dengan “Sang Ilahi” yang tidak
terbatas dan tidak terjangkau daya tangkap insani manusia.
Oleh sebab itu timbullah aneka
macam iman kepercayaan dan agama. Maka sudah seyogyanya kemajemukan agama harus
diterima, sebagai konsekwensi dari adanya iman dan agama.
2.2.3
Konsekuensi
dan Manfaat dari Pluralisme (Adanya dan Penerimaan Kemajemukan)
Dengan adanya dan penerimaan akan kemajemukan, maka dengan
sendirinya harus :
a. Ditolak
pelbagai paham, sikap dan praktek hidup yang mengandung unsur-unsur
diskriminasi, fanatisme, premordialisme dan kekerasan atau terorisme.
- Dijamin penuh kebebasan dan keadilan.
- Setiap kelompok (maupun oknum anggota kelompok) yang berbeda SALING :
1) Memberi
ruang atau kesempatan untuk mewujudkan dan mengembangkan “diri”nya dan
cita-cita atau tujuan hidupnya masing-masing sebagaimana adanya dan mestinya.
2) Menghargai
/ menghormati.
3) Belajar
untuk memahami dengan lebih baik.
4) Menunjang
dan memperkaya.
2.2 INTEGRASI NASIONAL
2.2.1 Pengertian Integritas Nasional
Integrasi
nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada
pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara
nasional. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat
besar baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa
dampak positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam
Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan
rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya
menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang
melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula
sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
a.
Faktor-faktor
pendorong integrasi nasional sebagai berikut:
1) Faktor sejarah yang menimbulkan rasa
senasib dan seperjuangan.
2) Keinginan untuk bersatu di kalangan
bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober
1928.
3) Rasa cinta tanah air di kalangan
bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan
mengisi kemerdekaan.
4) Rasa rela berkorban untuk
kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan bangsa
yang gugur di medan perjuangan.
5) Kesepakatan atau konsensus nasional
dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah
Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya,
bahasa kesatuan bahasa Indonesia.
b.
Faktor-faktor
penghambat integrasi nasional sebagai berikut:
1) Masyarakat Indonesia yang heterogen
(beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan masing-masing
kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan sebagainya.
2) Wilayah negara yang begitu luas,
terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3) Besarnya kemungkinan ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan dan
persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
4) Masih besarnya ketimpangan dan
ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai
rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk
rasa.
5) Adanya paham “etnosentrisme” di
antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan kelebihan-kelebihan budayanya dan
menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
2.2.2
Contoh
Wujud dan Pendorong Integritas Nasional
a. Contoh wujud integrasi nasional,
antara lain sebagai berikut:
1) Pembangunan Taman Mini Indonesia
Indah (TMII) di Jakarta oleh Pemerintah Republik Indonesia yang diresmikan pada
tahun 1976. Di kompleks Taman Mini Indonesia Indah terdapat anjungan dari semua
propinsi di Indonesia (waktu itu ada 27 provinsi). Setiap anjungan menampilkan
rumah adat beserta aneka macam hasil budaya di provinsi itu, misalnya adat,
tarian daerah, alat musik khas daerah, dan sebagainya.
2) Sikap toleransi antarumat beragama,
walaupun agama kita berbeda dengan teman, tetangga atau saudara, kita harus
saling menghormati.
3) Sikap menghargai dan merasa ikut
memiliki kebudayan daerah lain, bahkan mau mempelajari budaya daerah lain,
misalnya masyarakat Jawa atau Sumatra, belajar menari legong yang merupakan
salah satu tarian adat Bali. Selain anjungan dari semua propinsi di Indonesia,
di dalam komplek Taman Mini Indonesia Indah juga terdapat bangunan tempat
ibadah dari agama-agama yang resmi di Indonesia, yaitu masjid (untuk agama
Islam), gereja (untuk agama Kristen dan Katolik), pura (untuk agama Hindu) dan
wihara (untuk agama Buddha). Perlu diketahui, bahwa waktu itu agama resmi di
Indonesia baru 5 (lima) macam.
b. Contoh-contoh pendorong integrasi
nasional :
1) Adanya rasa keinginan untuk bersatu
agar menjadi negara yang lebih maju dan tangguh di masa yang akan datang.
2) Rasa cinta tanah air terhadap bangsa
Indonesia
3) Adanya rasa untuk tidak ingin
terpecah belah, karena untuk mencari kemerdekaan itu adalah hal yang sangat
sulit.
4) Adanya sikap kedewasaan di sebagian
pihak, sehingga saat terjadi pertentangan pihak ini lebih baik mengalah agar
tidak terjadi perpecahan bangsa.
5) Adanya rasa senasib dan
sepenanggungan
6) Adanya rasa dan keinginan untuk rela
berkorban bagi bangsa dan negara demi terciptanya kedamaian
tapi menurut saya indonesia memang plural (sebuah keniscayaan) bukan pluralisme. kita (sebagai contoh) orang jawa hidplah sebagai orang jawa dengan segala bentuk adat dan kehormatanya masalah tetangga kita orang bugis bukan berarti kita harus menjadi orang bugis tapi biarkan mereka dengan adat dan kehormataya tinggal kita bagaimana cara saling meghargai dan menghormati
BalasHapuslandasan yuridis normatif
fatwa mui : pluraisme dalam agama mutlak haram
heheheheheheheheheheheh.......?????
wasalam....