Rabu, 07 Mei 2014

BAB II PEMBAHASAN "PLURALISME DAN INTEGRITAS NASIONAL



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pluralisme
2.1.1 Pengertian Pluralisme
Pluralisme adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya “KEMAJEMUKAN” atau “KEANEKARAGAMAN” dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dll. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dalam suatu kelompok masyarakat yang majemuk dan yang lebih besar atau lebih luas. Misalnya masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari pelbagai kelompok umat beragama, suku, dan ras, yang memiliki aneka macam budaya atau adat-istiadat. Begitu pula masyarakat Maluku yang majemuk, ataupun masyarakat Aru yang majemuk.
Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justeru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama. Menerima kemajemukan (misalnya dalam bidang agama) bukanlah berarti bahwa membuat “penggabungan gado-gado”, dimana kekhasan masing-masing terlebur atau hilang. Kemajemukan juga bukan berarti “tercampur baur” dalam satu “frame” atau “adonan”. Justeru di dalam pluralisme atau kemajemukan, kekhasan yang membedakan hal (agama) yang satu dengan yang lain tetap ada dan tetap dipertahankan.
Jadi pluralism berbeda dengan sinkritisme (penggabungan) dan assimilasi atau akulturasi (penyingkiran). Juga pluralisme tidak persis sama dengan inkulturasi, kendati di dalam pluralisme atau kemajemukan bisa terjadi inkulturasi dimana keaslian tetap dipertahankan.

2.1.2 Dasar Pluralisme (Penerimaan Kemajemukan)
a. Dasar filosofis : kemanusiaan
Penerimaan kemajemukan dalam paham pluralisme adalah sesuatu yang MUTLAK, tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini merupakan konsekwensi dari kemanusiaan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta tujuan atau cita-cita hidup terdalam yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan batin. Namun dari lain sisi, manusia berbeda satu sama lain, baik secara individual atau perorangan maupun komunal atau kelompok, dari segi eksistensi atau perwujudan/pengungkapan diri, tata hidup dan tujuan hidup.
Sedangkan secara faktual dan historis, manusia yang sama secara essensial dan berbeda secara eksistensial itu pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang hidup bersama, saling membutuhkan, dan saling tergantung satu sama lain, baik secara perorangan/individual maupun secara kelompok/komunal. Oleh sebab itu suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kemajemukan harus diterima karena dan demi kemanusiaan. Pluralisme atau adanya dan penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekwensi dari kemanusiaan.
Adanya kemajemukan merupakan suatu fakta sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang tidak dapat ditolak dalam sejarah hidup manusia, baik secara lokal maupun nasional dan internasional.
b. Dasar Sosial Kemasyarakatan dan Budaya
Pengakuan akan adanya dan penerimaan akan kemajemukan merupakan KONSEKWENSI DAN KONSISTENSI KOMITMEN sosial maupun konstitusional sebagai suatu masyarakat (suku, bangsa, bahkan dunia), yang berbudaya.
Karena kemajemukan merupakan konsekwensi dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial, yang dari satu segi memiliki kesamaan essensial tetapi dari lain segi ada perbedaan eksistensial, maka pada hakekatnya adanya dan kekhasan atau identitas suatu kelompok masyarakat (entah lokal, nasional, dan internasional) akan hilang bila tidak ada atau ditiadakan atau ditolak kemajemukan. Jadi kemajemukan merupakan unsur penentu bagi adanya dan kekhasan dari suatu masyarakat. Oleh sebab itu dalam sejarah pembentukan dan kehidupan setiap kelompok masyarakat senantiasa ada kesadaran dan pengakuan akan adanya kemajemukan, serta ada komitmen untuk menerima dan tetap mempertahankan kemajemukan secara konsekwen dan konsisten.
Misalnya sejarah perjuangan kehidupan masyarakat Indoensia, baik secara lokal maupun nasional, telah dicirikhaskan dengan kesadaran akan adanya serta komitmen akan penerimaan kemajemukan secara konsekwen dan konsisten. Sumpah Pemuda serta pelbagai macam perjuangan untuk mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari masa ke masa merupakan fakta sejarah nasional bangsa Indonesia akan adanya serta komitmen untuk menerima dan mempertahankan kemajemukan masyarakat Indonesia. Begitu pula Pancasila dan UUD 45 mencerminkan kesadaran, komitmen, pandangan hidup serta sikap hidup yang sama. Pancasila dan UUD 45 merupakan bukti konstitusional nasional tentang pluralisme di Indonesia.
c. Dasar Teologis
Dalam suatu masyarakat agamawi – seperti masyarakat Indonesia –, kendati ada pelbagai macam agama yang berbeda dalam pelbagai aspek atau unsur-unsurnya, namun kemajemukan seyogyanya harus diterima, sebagai konsekwensi dari nilai-nilai luhur dan gambaran “Sang Ilahi” (Allah) yang maha baik serta cita-cita atau tujuan mulia dari setiap agama dan para penganutnya.
Dari hasil kajian, misalnya oleh ilmu perbandingan perbandingan agama-agama, dapat kita ketahui bahwa:
1)      Dari satu segi ada kesamaan. Misalnya dalam setiap agama ada gambaran dan ajaran tentang “Sang Ilahi” (“Allah” atau sebutan lainnya) sebagai yang maha baik, maha sempurna, maha kuasa, asal dan tujuan hidup akhir dari manusia dan segala sesuatu yang baik. Juga ada gambaran tentang “surga”, kebahagiaan, ketenteraman, damai sejahtera, dll yang merupakan cita-cita dan tujuan akhir hidup setiap orang.
2)      Dari segi lain ada rupa-rupa perbedaan karena adanya perbedaan persepsi serta keterbatasan manusia dalam upaya “mendalami” dan memahami serta menjalin hubungan dengan “Sang Ilahi” yang tidak terbatas dan tidak terjangkau daya tangkap insani manusia.
Oleh sebab itu timbullah aneka macam iman kepercayaan dan agama. Maka sudah seyogyanya kemajemukan agama harus diterima, sebagai konsekwensi dari adanya iman dan agama.

2.2.3        Konsekuensi dan Manfaat dari Pluralisme (Adanya dan Penerimaan Kemajemukan)
Dengan adanya dan penerimaan akan kemajemukan, maka dengan sendirinya harus :
a.       Ditolak pelbagai paham, sikap dan praktek hidup yang mengandung unsur-unsur diskriminasi, fanatisme, premordialisme dan kekerasan atau terorisme.
  1. Dijamin penuh kebebasan dan keadilan.
  2. Setiap kelompok (maupun oknum anggota kelompok) yang berbeda SALING :
1)      Memberi ruang atau kesempatan untuk mewujudkan dan mengembangkan “diri”nya dan cita-cita atau tujuan hidupnya masing-masing sebagaimana adanya dan mestinya.
2)      Menghargai / menghormati.
3)      Belajar untuk memahami dengan lebih baik.
4)      Menunjang dan memperkaya.
2.2 INTEGRASI NASIONAL
2.2.1 Pengertian Integritas Nasional
Integrasi nasional adalah usaha dan proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru. Kita ketahui dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
a.         Faktor-faktor pendorong integrasi nasional sebagai berikut:
1)   Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
2)   Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
3)   Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
4)   Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
5)   Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan  Indonesia Raya, bahasa kesatuan bahasa Indonesia.
b.        Faktor-faktor penghambat integrasi nasional sebagai berikut:
1)   Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan sebagainya.
2)   Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3)   Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
4)   Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
5)   Adanya paham “etnosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
2.2.2        Contoh Wujud dan Pendorong Integritas Nasional
a.       Contoh wujud integrasi nasional, antara lain sebagai berikut:
1)      Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta oleh Pemerintah Republik Indonesia yang diresmikan pada tahun 1976. Di kompleks Taman Mini Indonesia Indah terdapat anjungan dari semua propinsi di Indonesia (waktu itu ada 27 provinsi). Setiap anjungan menampilkan rumah adat beserta aneka macam hasil budaya di provinsi itu, misalnya adat, tarian daerah, alat musik khas daerah, dan sebagainya.
2)      Sikap toleransi antarumat beragama, walaupun agama kita berbeda dengan teman, tetangga atau saudara, kita harus saling menghormati.
3)      Sikap menghargai dan merasa ikut memiliki kebudayan daerah lain, bahkan mau mempelajari budaya daerah lain, misalnya masyarakat Jawa atau Sumatra, belajar menari legong yang merupakan salah satu tarian adat Bali. Selain anjungan dari semua propinsi di Indonesia, di dalam komplek Taman Mini Indonesia Indah juga terdapat bangunan tempat ibadah dari agama-agama yang resmi di Indonesia, yaitu masjid (untuk agama Islam), gereja (untuk agama Kristen dan Katolik), pura (untuk agama Hindu) dan wihara (untuk agama Buddha). Perlu diketahui, bahwa waktu itu agama resmi di Indonesia baru 5 (lima) macam.
b.      Contoh-contoh pendorong integrasi nasional :
1)      Adanya rasa keinginan untuk bersatu agar menjadi negara yang lebih maju dan tangguh di masa yang akan datang.
2)      Rasa cinta tanah air terhadap bangsa Indonesia
3)      Adanya rasa untuk tidak ingin terpecah belah, karena untuk mencari kemerdekaan itu adalah hal yang sangat sulit.
4)      Adanya sikap kedewasaan di sebagian pihak, sehingga saat terjadi pertentangan pihak ini lebih baik mengalah agar tidak terjadi perpecahan bangsa.
5)      Adanya rasa senasib dan sepenanggungan
6)      Adanya rasa dan keinginan untuk rela berkorban bagi bangsa dan negara demi terciptanya kedamaian

1 komentar:

  1. tapi menurut saya indonesia memang plural (sebuah keniscayaan) bukan pluralisme. kita (sebagai contoh) orang jawa hidplah sebagai orang jawa dengan segala bentuk adat dan kehormatanya masalah tetangga kita orang bugis bukan berarti kita harus menjadi orang bugis tapi biarkan mereka dengan adat dan kehormataya tinggal kita bagaimana cara saling meghargai dan menghormati

    landasan yuridis normatif
    fatwa mui : pluraisme dalam agama mutlak haram
    heheheheheheheheheheheh.......?????
    wasalam....

    BalasHapus